CATATANKU, SEMOGA JADI TULISANKU

CATATANKU, SEMOGA JADI TULISANKU



MISI

CATATANKU, SEMOGA JADI TULISANKU



Sabtu, 08 Maret 2014

Tantangan Profesionalisasi Guru

                 Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan beratnya tantangan yang dihadapi oleh profesi keguruan dalam usaha untuk meningkatkan kewibawaannya di mata masyarakat seperti yang dikemukan oleh Dedi Supriadi, (1999:104-106) sebagai berikut:
            Pertama, berkenaan dengan definisi profesi keguruan, masih ada kekurangjelasan tentang definisi profesi keguruan, bidang garapannya yang khas, dan tingkat keahlian yang dituntut dari pemegang profesi ini. Profesi keguruan berbeda misalnya dengan profesi kedokteran yang bidang tugas dan tingkat keahlian yang dituntutnya oleh profesi telah begitu jelas serta dirinci sedemikian rupa.
         Kedua, kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah profesi keguruan menunjukkan bahwa desakan kebutuhan masyarakat dan sekolah akan guru, maka profesi ini tidak cukup terlindungi dari terjadinya ”gangguan” dari luar. Di masa lalu bahkan hingga dewasa ini, ada kesan bahwa siapapun boleh berdiri di muka kelas untuk mengajar tanpa mempedulikan latar belakang dan tingkat pendidikannya. Di zaman kemerdekaan, asal seseorang bisa menulis, membaca, dan berhitung dan mau membagikan kemauannya kepada orang lain, dapat langsung berdiri di muka kelas. Sekalipun hal tersebut sekarang sudah banyak berkurang, pengaruh dari masa lalu itu masih terasa hingga sekarang. Di samping itu, kualifikasi pendidikan guru kita amat beragam, mulai hanya lulusan SLTP hingga S-3. Dapat dibayangkan betapa sulitnya menarik suatu generalisasi utuh tentang tingkat profesionalisme guru. Sekali lagi, bandingkan misalnya dengan profesi kedokteran yang anggotanya hanya terdiri atas dokter dengan kualifikasi pendidikan yang jelas dan seragam.
            Ketiga, penambahan jumlah guru secara besar-besaran membuat sulitnya standar mutu guru dikendalikan dan dijaga. Hal ini terjadi hampir pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Akibatnya, ada anggapan seakan-akan tidak ada relevansinya untuk berbicara tentang profesionalisme guru di tengah mendesaknya kebutuhan akan guru dalam jumlah besar.
Keempat, PGRI sendiri cenderung bergerak di ”pertengahan” antara pemerintah dan guru-guru. PGRI belum banyak aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang secara sistematis dan langsung berkaitan dengan peningkatan proefsionalisme guru; misalnya melalui penerbitan profesional dan kegiatan ilmiah lainnya. Kurangnya dana, langkanya tenaga profesional dan potensi ”pasar” untuk mengkonsumsi penerbitan profesional, menjadi sebab sulitnya PGRI bergerak ke arah itu.
Hal serupa juga berlaku dalam upaya memperjuangkan nasib para guru. Diakui bahwa pada beberapa tahun terakhir PGRI makin aktif menyuarakan aspirasi guru, namun secara umum tidak berlebihan bila dikatakan bahwa PGRI masih harus berbuat banyak untuk menjadi penyalur dan penyambung lidah para guru dalam menyampaikan aspirasinya untuk perbaikan statusnya.
Baik sebagai wahana untuk meningkatkan profesionalisme maupun untuk memperjuangkan nasib guru, PGRI memang masih sebelum ”secanggih” organisasi serupa di negara lain. Misalnya, NEA (National Educational Association) di AS benar-benar aktif melakukan pembinaan terhadap profesionalisme guru; sedangkan AFT (American Federation of Teacher) lebih berurusan dengan upaya memperjuangkan hak-hak guru. Guru-guru yang kurang puas dengan kondisi kerja banyak bergabung dengan AFT. Di Inggris, NUT (National Teachers Union) merupakan kekuatan yang ampuh baik sebagai sarana untuk pembinaan profesionalisme guru maupun dalam mempengaruhi opini publik tentang pendidikan dan guru.
Kelima, tuntutan dan harapan masyarakat yang terus meningkat dan berubah membuat guru makin ditantang. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat melahirkan tuntutan-tuntutan baru terhadap peran (role expectation) yang seharusnya dimainkan oleh guru. Akibatnya, setiap penambahan kemampuan guru selalu berpacu dengan meningkatnya kemampuan dan harapan masyarakat tersebut yang kadang-kadang lebih cepat dari kemampuan guru untuk memenuhinya. Masalah terjadi apabila harapan atas peran guru bertambah, sementara kemampuan guru memenuhinya terbatas.
         Bila dimasa lalu guru menjadi sumber utama untuk menjawab ketidaktahuan siswa, sekarang bukan lagi. Di rumah tersedia radio, televisi, surat kabar, bahkan komputer dan internet. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa – dengan pengecualian di pedesaan barisan depan dalam irama perubahan masyarakat sebagaimana dipercayai di masa lalu, melainkan pengikut perubahan masyarakat yang bergerak jauh di depan mereka. Dalam situasi demikian, tidak mudah menegakkan profesi keguruan. Jadi, betapa peliknya problematik dan betapa beratnya tantangan yang dihadapi profesi keguruan.

Implementasi Program Pengembangan Profesi Guru
                Betapa bagusnyapun rumusan visi dan misi, serta lengkapnyapun rumusan kandungan isi dengan pengelaborasiannya yang rinci dari suatu program pendidikan (dalam arti penyiapan dan pengembangan) keprofesian keguruan, pada akhir dan ujungnya akan tergantung kepada bagaimana kinerja cara mengimplementasikannya dalam proses dan situasi pendidikannya yang aktual. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa implementasi suatu program pengembangan profesi dan perilaku guru itu bukanlah merupakan sesuatu hal yang mudah, melainkan memerlukan penanganan yang khusus dan sungguh-sungguh.
              Pengembangan profesi keguruan bukan saja hanya memerlukan dukungan program pengembangan yang bersifat luwes yang dapat memberikan peluang setiap pengemban profesi guru itu menempuhnya secara luwes melalui prosedur yang bersifat multi-entry dan/atau lintas jalur jenis kategori bidang keahlian, juga paket-paket programnya seyogianya dikembangkan secara luwes pula sehingga memberikan peluang kemudahan prosedural dan juga memberikan dorongan yang menggairahkan kepada guru untuk melakukan upaya pengembangan keprofesiannya secara berkelanjutan dengan cara yang bervariasi. Abin S. Makmum (1996) menguraikan tugas, peranan,dan tanggung jawab LPTK, pengguna jasa guru, organisasi asosiasi profesi guru, serta guru dalam upaya mengembangkan profesi guru sebagai berikut:

1. Tugas, Peranan dan Tanggung Jawab LPTK dan Lembaga Lain yang Relevan
                 LPTK merupakan akronim dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan sebagai generik dari semua lembaga atau satuan pendidikan yang bidang garapan kegiatannya bertalian dengan upaya pengadaan atau penyiapan dan/atau pengembangan tenaga kependidikan. Penggunaannya secara resmi di lingkungan Depdiknas, khususnya Ditjen Dikti, dimulai dengan terbitnya dokumen PPSPTK (1978). Sedangkan dokumen formal lebih lanjut (PP No. 38 tahun 1992) untuk maksud yang serupa menggunakan ungkapan Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan, tanpa akronim. Yang terakhir itu dipandang serupa dengan terdahulu berdasarkan asumsi bahwa perkataan GURU dalam versi UNESCO/ILO mencakup semua personel yang terlibat dalam tugas pekerjaan kependidikan (Dokumen resmi Internasional Hasil Konferensi Antar Pemerintah, termasuk Indonesia terwakili di dalamnya, yang diselenggarakan oleh UNESCO/ILO tanggal 21 September s.d. 5 oktober 1966 di Paris).
               Bentuk kelembagaan dari LPTK memang cukup bervariasi sesuai dengan diversifikasi (jenis kategori bidang keahlian/pekerjaan) dan stratifikasi (tingkat dan/atau jenjang kualifikasi keahlian/kemampuan) tenaga guru yang harus disiapkan atau dibina dan dikembangkan baik persekolahan maupun lembaga lain. Selain bentuk kelembagaan LPTK yang bersifat persekolahan (IKIP yang sekarang berubah menjadi universitas dengan wider mandate-nya, STKIP, dan FKIP), sesungguhnya masih terdapat berbagai format lainnya yang titik berat garapannya pada segi pengembangan (keprofesian) guru. Di antaranya, terdapat BPG – Balai Pendidikan Guru (sekarang berganti fungsi menjadi LPMP) yang selanjutnya diasosiasikan dengan gagasan PPPG-Pusat Pengembangan Pendidikan Guru (sekarang berganti fungsi menjadi P4TK) dengan bidang garapannya yang secara spesifik difokuskan kepada pengembangan kemampuan guru-guru bidang studi, sebagai program sertifikasi.
                Berdasarkan asumsi bahwa proses penyiapan (pre-service) dan pengembangan (in-service) tenaga guru dengan segala kategorinya seyogianya digariskan sebagi suatu kesatuan yang integral. Seperti direkomendasikan oleh Konferensi Pendidikan Internasonal yang diselenggarakan di Jenewa mulai 27 Agustus s.d. 4 Sepetember 1974 oleh UNESCO (Goble, 1977: 206).
Pendidikan lanjutan hendaknya merupakan bagian integral dari proses pendidikan guru sehingga perlu ditata secara teratur bagi semua kategori tenaga kependidikan. Prosedur hendaknya seluwes mungkin dan dapat disesuaikan terhadap kebutuhan guru individual maupun terhadap ciri-ciri khas setiap daerah, dengan memperhitungkan perkembangan kekhususan yang berbeda dan perluasan perkembangan ilmu pengetahuan.
                    Secara konseptual, kedua tahapan proses pendidikan guru tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari tugas dan tanggung jawab LPTK. Dengan demikian, LPTK itu seyogianya mampu menjalankan peranannya baik dalam pelaksanaan fungsi pendidikan prajabatan maupun fungsi pendidikan dalam jabatan. Sebagaimana halnya direkomendasikan pula oleh UNESCO (Goble, 1977:206). Fungsi lembaga pendidikan guru hendaknya tidak saja diperluas untuk memberikan pendidikan prajabatan kepada para guru, melainkan juga memberikan banyak sumbangan bagi pendidikan lanjutan mereka; dengan demikian, lembaga-lembaga tersebut hendaknya memberikan pendidikan prajabatan dan pendidikan lanjutan.
                 Di Indonesia, sesungguhnya gagasan UNESCO itu telah dicoba untuk diimplementasikan dalam rangka pengembangan pola pembaharuan sistem pendidikan tenaga kependidikan. Pengadaan (penyiapan) tenaga kependidikan yang termasuk kategori tenaga guru TK, SD, SL, dan juga sebagian PLS pada dasarnya merupakan tugas dan tanggungjawab LPTK. Terdapat kemungkinan juga pendidikan prajabatan saat itu dikonsepsikan dapat ditempuh melalui pendidikan dalam jabatan, dengan asumsi bahwa hingga saat itu masih terdapat sejumlah guru yang telah bertugas. Sedangkan aturan lain menunjukkan bahwa pada dasarnya semua jenis kategori tenaga kependidikan dari semua jenang dan/atau tingkat kelembagaan satuan dan program pendidikan dapat menempuh program pendidikan lanjutan baik di LPMP maupun di LPTK. Dengan catatan bahwa kepada jenis dan jenjang satuan pendidikan TK itu termasuk Raudhatul Atfhal, kepada SD itu mencakup Pondok Pesantren dan kepada PT mencakup IAIN dan sejenisnya, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun oleh swasta (LSM).
Khusus bagi LPTK, dalam kedudukannya sebagi lembaga pendidikan tinggi (telaah PP NO. 38 pasal 11-16 serta pasal 32) secara jelas selain mengemban tugas dharma pendidikan (menyiapkan dan mengembangkan tenaga kependidikan profesional) itu juga harus mengemban dharma penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sebagaimana yang berlaku bagi lembaga pendidikan lainnya (non LPTK). Dengan demikian, secara akademis LPTK-pun harus setaraf dengan lembaga pendidikan tinggi (universitas/institut) lainnya, sama halnya juga sebagai pusat pembaharuan dan pembangunan masyarakat. Dari LPTK itulah diharapkan lahirnya IPTEK dan humaniora yang relevan dengan bidang kependidikan sebagai sumber dan pendukung serta penunjang profesi kependidikan

2.     Tugas, Peranan dan Tanggung Jawab Pihak Pengguna Jasa Guru
              Dalam berbagai kesempatan terdahulu telah disinggung bahwa proses pembinaan kualitas kinerja keprofesian bukanlah merupakan hal yang bersifat tuntas (exhaustive) secara temporal (berlangsung selama proses) dan terminal (berhenti saat berakhirnya) menempuh suatu program pendidikan, melainkan terus berkelanjutan setelah dan selama terjun di dalam menjalankan praktek keperofesiannya sepanjang hayatnya asalkan selalu berupaya mengembangkan diri dan menyegarkan kinerja keprofesiannya seirama dengan tuntutan perkembangan IPTEK dan persyaratan standar bidang pekerjaannya.
                Atas dasar itu, maka pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan dan pengguna jasa para pengemban profesi itu seyogianya memberi peluang dan dukungan bagi upaya pengembangan kualitas kinerja kependidikan, peranan dan tanggung jawab pihak pengelola dan pengguna jasa tenaga kependidikan itu teramat penting mengingat bidang garapan tugas pekerjaannya hingga dewasa ini cenderung lebih bersifat pelayanan yang terorganisasikan dan terikat secara kelembagaan (institusional) ketimbang yang bersifat pelayanan individual yang bebas dan secara mandiri. Memang telah mulai menggejala juga, adanya hasrat dari sementara kalangan masyarakat pengguna jasa di bidamg kependidikan itu yang memerlukan pelayanan khusus secara privat, namun proporsinya teramat masih terbatas dibandingkan dengan mereka yang masih menghendaki pelayanan terorganisasikan secara melembaga, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun oleh masyarkat (LSM).
                Siapa dan/atau lembaga apa dan yang mana saja yang dapat diidentifikasikan sebagai pihak pengguna jasa profesi kependidikan itu? Mengingat kegiatan pekerjaan pendidikan itu dewasa ini telah dikonseptualisasikan secara sistematik, maka unsur-unsur pihak pengguna jasa pelayanan profesi kependidikannya juga seyogianya diidentifikasi secara sistematik. Untuk itu, perlu ditelaah:

a.   Didentifikasi dan dibedakan pihak penggunna (users) jasa profesi guru dengan pihak penerima (beneficiaries) jasa pelayanan profesi kependidikan. Mereka yang termasuk kepada kategori pertama, ialah mereka yang terlibat dalam pengelolaan sistem pendidikan pada tingkat mesoskopik (institusional: pimpinan satuan pendidikan) dan pada tingkat makroskopiknya (struktural: pimpinan organsiasi atau badan penyelenggara satuan dan program pendidikan). Sedangkan mereka yang termasuk kepada kategori kedua, ialah mereka yang secara langsung menerima jasa pelayanan pendidikan (para peserta didik yang bersnagkutan) dan mereka yang secara tidak langsung (para orag tua, masyarakat bisnis/industri, instansi pemerintah, dan berbagai pihak lainnya) menunjukkan antara lain pihak pengguna terbatas di lingkungan Depdiknas.

b.   Kiranya dapat dimaklumi betapa luas dan beraneka ragamnya pihak pengguna jasa pelayanan profesi kependidikan itu, baik ditinjau dari segi jalur (sekolah-luar sekolah), jenjang (dasar-menengah-tinggi) maupun penyelenggaranya (negeri-swasta). Dalam arena yang demikian luas itulah sesungguhnya tenaga kependidikan itu beroperasi dengan berbagai ragam keahlian dan kekhususannya.
              Setiap tingkat dan jenis kategori pengguna, termasuk penerima, jasa pelayanan tenaga kependidikan sudah barang tentu tugas, peranan dan tanggungjawabnya dapat bervariasi dalam kontribusinya untuk terselenggaranya pengembangan profesi dan prilaku tenaga kependidikan termaksud. Para pengelola sistem pendidikan secara struktural mulai dari tingkat puncaknya (nasional, pusat) sampai kepada tingkat paling bawah (birokrasi/pengurus cabang dan/atau rantingnya) baik instansi pemerintah maupuan swasta, dalam posisinya sebagai penyelenggara dan bahkan sekaligus juga sebagai pemilik dari satuan-satuan dan program-program pendidikan yang bersangkutan, sudah barang tentu seyogianya memiliki tugas, peranan, dan tanggung jawab yang sangat besar dan luas atas upaya pengembangan profesi dan prilaku tenaga kependidikan. Sebagaimana dinyatakan dalam PP No. 38 tahun 1992 pasal 29:
                     Pengelola sistem pendidikan nasional bertanggung jawab atas kebijaksanaan nasional berkenaan dengan sistem pengembangan profesional tenaga kependidikan pada setiap cabang ilmu pengetahuan.
                     Demikian juga UNESCO (Goble, 1977:207) merekomendasikan:
Pemantapan pendidikan guru lanjutan (continuing and inservice education and training) yang diperlukan di semua (jenjang/tingkatan) sistem, sejak pendidikan primer (di jenjang dasar) hingga pendidikan tersier (di jenjang perguruan tinggi) termasuk juga pendidikan bagi orang dewasa, harus didukung oleh banyak usaha pejabat yang berwenang di bidang pendidikan usaha semacam itu mencakup analisis kuantitatif mengenai pengadaan (penyiapan) dan kebutuhan guru (tenaga kependidikan) di suatu negara, dan juga pelaksanaan perencanaan nasional atau regional (wilayah/daerah) pendidikan lanjutan bagi para guru-guru (tenaga kependidikan).
                Sama halnya dengan pengelola satuan dan program pendidikan. Merekapun mempunyai tugas, peranan, dan tanggungjawab tertentu atas upaya pengembangan profesi tenaga kependidikan yang berada dalam lingkup kewenangannya. Sebagaimana dinyatakan, antara lain, dalam PP No. 38 tahun 1992 pasal 30 sebagai berikut;
Pengelola satuan pendidikan (sekolah, perguruan, SKB, PUSDIKLAT, dsb.) bertanggungjawab atas pemberian kesempatan kepada tenaga kependidikan yang bekerja di satuan pendidikan yang bersangkutan untuk mengembangkan kemampuan profesional masing-masing.
Pihak para penerima (beneficiaries) jasa pelayanan pendidikan langsung dan/atau tidak langsung pertama, antara lain, para peserta didik dan atau orang tua mereka. Sedangkan yang tidak langsung, antara lain, para pemakai (yang mempekerjakan para lulusan dari sesuatu satuan atau program pendidikan ke dalamnya masyarakat pengusaha dan juga instansi pemerintah). Sepanjang ketentuan yang berlaku ternyata telah diatur pula tugas, peranan, dan tanggungjawabbya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, yang diantaranya juga mencakup aspek pengadaan dan pengembangan sumber daya pendidikan termasuk SDM atau tenaga kependidikan.
Adapun wujud dan bentuk tugas, peranan, dan tanggungjawab para pengguna jasa tenaga kependidikan termaksud, sesungguhnya bukan hanya sebatas:
a.    menggariskan arah kebijaksanaan tentang pengembangan profesi tenaga kependidikan; dan/atau
b.  pemberian izin kesempatan kepada tenaga kependidikan untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya; melainkan juga
c.  memberikan dukungan fasilitasnya yang diperlukan, baik sarana dan prasarana maupun dana atau finansialnya yang diperlukan bagi kepentingan pengembangan profesi tenaga kependidikan.
Sebagaimana telah direkomendasikan oleh UNESCO (Goble, 1999: 206-207), antara lain:
Agar proses pendidikan lanjutan dapat berfungsi efektif dan dapat dinikmati oleh guru-guru yang bertugas di daerah daerah terpencil, penggunaan radio, televisi, dan kursus tertulis hendaknya diperluas. Perpaduan antara kursus-kursus penuh dalam jangka pendek dengan penggunaan program-program yang menggunakan banyak media, yang cukup lama, termasuk radio, televisi dan kursus-kursus tertulis dapat memechakan secara langsung problem pendidikan jabatan yang diikuti banyak guru.
                  Masyarakat pengguna jasa tenaga kependidikan termaksud dapat mengorganisasikan berbagai bentuk partisipasinya seperti disebutkan di atas itu sesuai posisi dan statusnya masing-masing. Pihak pengguna jasa tenaga kependidikan yang terkategorikan ke dalam atau instansi dinas pemerintahan tentu dapat menggunakan saluran-saluran kedinasannnya dengan jalan antara lain:
a. membentuk atau mendirikan pusat-puast pengembangan tenaga kependidikan (LPMP, P4TK)
b.  membentuk dan mendorong atau menggerakkan unit-unit kerja sama dan asosiasi profesi guru sejenis (MGBS, MGP, KKG, KKS, dsb) untuk memacu para guru dalam saling membantu dalam pengembangan kemampuan profesionalnya;
c.  menyediakan beasiswa untuk melanjutkan studi (di negara yang telah maju bahkan termasuk untuk ”sabatical live”)
d.    menyelenggarakan berbagai proyek kegiatan penelitian, penulisan, seminar serta penataran dan sebagainya yang tertuju kepada peningkatan kemampuan profesional tenaga kependidikan.
Hal serupa dapat dilakukan juga oleh pihak masyarakat (LSM) baik badan ataupun yayasan atau perorangan, baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat bisnis. Banyak peluang beasiswa (grant atau credit) ditawarkan oleh dunia usaha atau organisasi sosial kemasyarakatan kepada para tenaga kependidikan untuk keperluan studi lanjut, penelitian, pengabdian dan sebagainya. Sayangnya, aksesnya kepada para guru mengenai informasi tentang hal-hal tersebut di Indonesia hingga dewasa ini masih amat terbatas.

3.  Tugas, Peranan dan Tanggung Jawab Organisasi Asosiasi Profesi Guru
             Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa terbentuknya suatu organisasi asosiasi profesi itu merupakan salah satu syarat bagi pengakuan keberadaan suatu profesi selain lebih jauh lagi menunjukkan keberadaan suatu organisasi asosiasi profesi itu merupakan salah satu syarat kelengkapan penting bagi tegaknya dan kelangsungan hidupnya suatu profesi. Dalam konteks profesi kependidikan di Indonesia, PP No. 38 tahun 1992 pasal 61 menunjukkan:
Tenaga kependidikan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan karier, kemampuan, kewenangan profesional, martabat dan kesejahteraan tenaga kependidikan.
            Adapun wujud wadah ikatan profesi tenaga kependidikan termaksud secara umum dan formal model dan bentuknya telah didiskusikan pada bab terdahulu. Ada yang bersifat generik (mencakup semua jenis kategori tenaga kependidikan) dan ada yang bersifat spesifik (berkenaan dengan salah satu jenis dan strata kependidikan tertentu), secara internasional, telah dikenal sejumlah organisasi asosiasi (ikatan, himpunan, persatuan, dsb.) tenaga guru yang bersifat spesifik.
Di Indonesia, perkembangan dan realitasnya agak berbeda dari kecenderungan yang berlaku umum secara internasional. Sudah barang tentu sesuai dengan kondisi obyektif dan budaya politik keorganisasian yang berlaku di negeri ini. Di masa yang lampau (saat-saat kelahiran organisasi guru yang telah menempatkan posisinya sebagai organisasi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia), telah disepakati hanya ada satu organisasi guru secara manunggal yang diidentifikasikan sebagai PGRI. Sayangnya, organisasi asosiasi profesi guru ini nampaknya seperti kurang mengindahkan segi-segi kekhususan yang ditekuni para anggotanya. Kiprahnya nampak cenderung bersifat global kejuangan politik secara nasional, sehingga identitas khas sebagai organisasi asosiasi keprofesiannya di bidang pendidikan nyaris tidak menonjol.
                  Sesungguhnya, terdapat berbagai organisasi asosiasi di luar PGRI yang bertalian dengan kegiatan atau permasalahan garapan yang bertalian erat dengan bidang pendidikan, namun tidak ada kaitan organisatoris secara melembaga dengan PGRI. Di antaranya ialah ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia) dengan bidang-bidang keahliannya (ISKIN, HISAPIN, ISMAPI, HISPELBI,   Himpunan Sarjana PLS, IPS, MIPA, Teknik, Olahraga, Bahasa dan Seni, dsb.).
            Selain itu, terdapat pula format asosiasi lain yang merupakan wadah sebagai forum kebersamaan dan bekerjasama dalam berbagai kegiatan pengembangan keprofesian guru, antara lain: MGBS (Musyawarah Guru Bidang Studi: IPA, IPS, Bahasa, Matematika, OR, dsb.); MGP (Musyawarah Guru Pembimbing) yang kehadirannya disponsori dan didukung oleh pihak pengguna jasa tenaga kependidikan. Walaupun selama ini identitas organisasi asosiasi profesi tersebut belum terdapat pembinaan secara menyeluruh dan cenderung berjalan sendiri-sendiri.
Secara ideal, tugas dan peranan serta tanggung jawab utama dari organisasi asosiasi profesi kependidikan itu sebagaimana terkandung dalam muatan meningkatkan dan/atau mengembangkan:
Ø   karier;
Ø    kemampuan;
Ø    kewenangan profesional;
Ø    martabat, dan
Ø    kesejahteraan
               Kesemuanya itu tentu harus dijabarkan atau dielaborasikan ke dalam berbagai bentuk kegiatan upaya atau kiprah yang nyata oleh organisasi asosiasi profesi kependidikan yang bersangkutan, sehingga benar-benar dapat dirasakan oleh setiap anggotanya.
             Secara umum UNESCO (Goble, 1977:206) menunjukkan kemungkinan kiprah yang seyogianya dilakukan mewujudkan tugas, peranan dan tanggungjawab organisasi asosiasi profesi guru: Organisasi –organisasi guru hendaknya diberi kesempatan untuk memberikan sumbangan kepada pendidikan guru lanjutan (pengemban profesi) dengan memprakarsai kesempatan bagi guru untuk bertemu dan bekerjasama mengatasi berbagai problema yang sama. Konferensi, seminar dan kursus-kursus yang diselenggarakan oleh organisasi guru dapat menjadi suatu ukuran yang penting dalam mendorong pengembangan guru yang dilakukan oleh (organisasi) profesi itu sendiri.
Adapun problema-problema yang harus diatasi oleh para guru sebagaimana yang tersirat dalam pernyataan UNESCO tersebut, sudah jelas kiranya erat berkaitan dengan keempat gugus atau bidang garapan seperti berikut;

a.        Apa program kegiatan organisasi asosiasi profesi untuk membantu peningkatan dan pengembangan karier para anggotanya? Ke dalamnya dapat termasuk juga jika anggotanya itu ingin alih fungsi dari guru kepada non-guru (pengelola, peneliti dan pengembang, dsb.) dan sebaliknya. Juga termasuk kelancaran proses penanganan dan penyelesaiannya yang justru sering terjadi permasalahan perlukah terjalin komunikasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya pihak pengguna tenaga kependidikan.

b.  Apa program kegiatan organisasi asosiasi profesi guru untuk membantu para anggotanya dalam meningkatkan dan mengembangkan kemampuan-kemampuan profesionalnya?

c.   Apa program kegiatan organisasi asosiasi profesi guru untuk membantu para anggotanya meningkatkan kewenangan, dalam arti peningkatan jenjang pendidikan formal keprofesiannya? Mengembangkan LPTK? Menghimpun dana, mencari sponsor untuk menunjang kelanjutan studi para anggotanya.

d.   Apa upaya organisasi profesi guru untuk membina martabat profesinya? Merumuskan kode etika dan membentuk dewan/majelis pertimbangan kode etikanya? Membina disiplin kerja keprofesian serta mengupayakan penampilan yang dapat meningkatkan pengakuan dan penghargaan dari berbagai pihak berkepentingan?

e.    Apa program kegiatan organisasi asosiasi profesi guru untuk meningkatkan dan mengembangkan kesejahteraan material, sosial, mental dan spiritual para anggotanya? Membangun koperasi? Mengembangkan badan usaha? Menyelenggarakan kegiatan olah raga, seni, rekreasi, perhimpunan keagamaan dan kerohanian, dsb.?
                  Jika pertanyaan-pertanyaan di atas itu dihubungkan dengan bentuk-bentuk organisasi asosiasi profesi guru yang telah ada di negeri ini, pada dasarnya hampir telah banyak yang dilakukan. Akan tetapi, seperti dikemukakan terdahulu, dalam prakteknya berjalan sendiri-sendiri. Setiap jenis organisasi guru yang ada cenderung mempunyai fokusnya masing-masing. Yang menonjol pada PGRI, antara lain: segi kooperasinya. Forum MGBS, dsb. menonjol pembinaan kemampuan profesionalnya. PGRI juga membina beberapa LPTK. Namun majelis pertimbangan kode etika masih belum ada yang menanganinya secara jelas, meskipun kode etikanya sudah ada.

4. Tugas, Peranan dan Tanggung Jawab Guru
                 Tingkat kualitas kompetensi profesi seseorang itu tergantung kepada tingkat penguasaan kompetensi kinerja (performance competence) sebagai ujung tombak serta tingkat kemantapan penguasaan kompetensi kepribadian (values and attitudes competencies) sebagai landasan dasarnya, maka implikasinya ialah bahwa dalam upaya pengembangan profesi dan prilaku guru itu keduanya (aspek kinerja dan kepribadian) seyogianya diindahkan keterpaduannya secara proporsional. Lieberman (1956) menunjukkan salah satu esensi dari suatu profesi itu adalah pengabdian (the service to be rendered) kepada umat manusia sesuai dengan keahliannya. Karena itu betapa pentingnya upaya pembinaan aspek kepribadian (inklusif pembinaan sikap dan nilai) sebagai sumber dan landasan tumbuh-kembangnya jiwa dan semangat pengabdian termaksud. Dengan demikian, maka identitas dan jatidiri seorang tenaga kependidikan yang profesional pada dasarnya akan ditandai oleh tercapainya tingkat kematangan kepribadian yang mantap dalam menampilkan kinerja profesinya yang prima dengan penuh semangat pengabdian bagi kemaslahatan umat manusia sesuai dengan bidang keahliannya.
                 Dalam realitasnya, pada awal kehadiran dan keterlibatan orang-orang dalam suatu profesi, termasuk bidang keguruan, pada umumnya datang dengan membawa pola dasar motivasi dan kepribadian yang bervariasi, sangat mungkin di antara mereka itu datang dengan bermotifkan ekonomis, sosial, estetis, teoritis, politis atau religius. Kiranya sulit disangkal bahwa sesungguhnya semua motif dasar tersebut, disadari atau tidak, akan terdapat pada setiap insan. Akan tetapi, bagi pengemban profesi kependidikan yang seyogianya dipupuk dan ditumbuhkan selaras dengan tuntutan tugas bidang pekerjaannya, ialah motif sosial yang berakar pada jiwa dan semangat filantropis (mencintai dan menyanyangi sesama manusia).
             Itulah sebabnya, mengapa UNESCO amat merekomendasikan agar masalah pembinaan kepribadian guru itu harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam penyelenggaraan pendidikan keguruan, baik pada fase prajabatan maupun dalam jabatannya. Di dalam fase prajabatan, program pendidikan harus dikembangkan yang memungkinkan dapat terjadinya proses sosialisasi yang sehat, baik melalui kegiatan kurikuler maupun ko-kurikuler dan ekstra-kurikulernya seperti ”student self-gouvernment activities” dan ”community services”. Sudah barang tentu harus ditunjang kelengkapannya yang memadai, termasuk sistem asrama. Sedangkan dalam fase pasca pendidikan prajabatan, upaya pengembangan kepribadian dan keprofesian itu pada dasarnya akan sangat tergantung kepada sejauh mana jiwa dan semangat “self-propelling and professional growth and development” dari guru yang bersangkutan.
             Dalam realitasnya, semangat dan kesadaran untuk menumbuh-kembangkan diri (kepribadian) dan keprofesian itu tidak selalu terjadi dengan sendirinya (secara intrinsik), melainkan harus diciptakan iklim yang mendorong dan ”memaksa” pengemban suatu profesi itu dari lingkungannya (secara ekstrinsik). Itulah sebabnya baik UUSPN No. 20 tahun 2003 telah menjadikannya sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap guru.
            Sebagai operasionalisasinya untuk mendorong dan ”memaksa” guru agar melaksanakan kewajibannya itu ialah dengan memperhitungkannya sebagai salah satu komponen yang menjadi dasar kenaikan jenjang jabatan fungsionalnya dengan diberikan angka kredit yang signifikan, baik ke dalam unsur pendidikannya, pengembangan profesi, maupun unsur penunjangnya (SK. Menpan No.28 tahun 1989). Meskipun berbagai ketentuan tersebut pada dasarnya diperuntukkan bagi PNS, namun dalam prakteknya juga dijadikan pedoman bagi penentuan angka kredit dalam rangka menetapkan jenjang jabatan fungsional tenga kependidikan dalam kerangka sistem pendidikan nasional.
                  Bagi guru yang datang dengan motif dasar intrinsik, sudah barang tentu upaya pengembangan dirinya dan keprofesiannya itu bukan merupakan permasalahan. Ia tinggal memilih saja alternatif mana yang diminatinya sebagaimana disarankan, secara umum, melalui: (1) pendidikan formal sesuai dengan jalur, jenjang dan jenis bidang keahliannya (jika hal itu belum ditempuh sebelumnya); 
(2) pendidikan non formal (sepanjang tersedia); 
(3) keikut-sertaan dalam berbagai kegiatan penelitian, seminar, lokakarya, penulisan/publikasi, dsb. yang relevan dengan bidang keprofesiannya; 
(4) belajar mandiri dengan memanfaatkan berbagai sumber dan media (cetak dan/atau elektronik) yang tersedia relevan dengan bidang keprofesiannya. Berbagai kegiatan termaksud sangat boleh jadi dilakukannya juga di lingkungan kerjanya sebagai laboratorium eksperimentasinya yang aktual, nyata, dan pragmatis untuk menunjang kualitas kinerjanya secara langsung.

0 comments: