Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan beratnya
tantangan yang dihadapi oleh profesi keguruan dalam usaha untuk meningkatkan
kewibawaannya di mata masyarakat seperti yang dikemukan oleh Dedi Supriadi,
(1999:104-106) sebagai berikut:
Pertama, berkenaan dengan definisi profesi keguruan, masih ada kekurangjelasan tentang definisi profesi keguruan, bidang garapannya yang khas, dan tingkat keahlian yang dituntut dari pemegang profesi ini. Profesi keguruan berbeda misalnya dengan profesi kedokteran yang bidang tugas dan tingkat keahlian yang dituntutnya oleh profesi telah begitu jelas serta dirinci sedemikian rupa.
Implementasi Program Pengembangan Profesi Guru
Pertama, berkenaan dengan definisi profesi keguruan, masih ada kekurangjelasan tentang definisi profesi keguruan, bidang garapannya yang khas, dan tingkat keahlian yang dituntut dari pemegang profesi ini. Profesi keguruan berbeda misalnya dengan profesi kedokteran yang bidang tugas dan tingkat keahlian yang dituntutnya oleh profesi telah begitu jelas serta dirinci sedemikian rupa.
Kedua, kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah profesi keguruan menunjukkan
bahwa desakan kebutuhan masyarakat dan sekolah akan guru, maka profesi ini
tidak cukup terlindungi dari terjadinya ”gangguan” dari luar. Di masa lalu
bahkan hingga dewasa ini, ada kesan bahwa siapapun boleh berdiri di muka kelas
untuk mengajar tanpa mempedulikan latar belakang dan tingkat pendidikannya. Di
zaman kemerdekaan, asal seseorang bisa menulis, membaca, dan berhitung dan mau
membagikan kemauannya kepada orang lain, dapat langsung berdiri di muka kelas. Sekalipun hal tersebut sekarang sudah banyak berkurang,
pengaruh dari masa lalu itu masih terasa hingga sekarang. Di samping itu,
kualifikasi pendidikan guru kita amat beragam, mulai hanya lulusan SLTP hingga
S-3. Dapat dibayangkan betapa sulitnya menarik suatu generalisasi utuh tentang
tingkat profesionalisme guru. Sekali lagi, bandingkan misalnya dengan profesi
kedokteran yang anggotanya hanya terdiri atas dokter dengan kualifikasi
pendidikan yang jelas dan seragam.
Ketiga, penambahan jumlah guru secara besar-besaran membuat sulitnya standar mutu
guru dikendalikan dan dijaga. Hal ini terjadi hampir pada setiap jenjang dan
jenis pendidikan. Akibatnya, ada anggapan seakan-akan tidak ada relevansinya
untuk berbicara tentang profesionalisme guru di tengah mendesaknya kebutuhan
akan guru dalam jumlah besar.
Keempat, PGRI sendiri cenderung bergerak di ”pertengahan” antara pemerintah dan
guru-guru. PGRI belum banyak aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang secara
sistematis dan langsung berkaitan dengan peningkatan proefsionalisme guru;
misalnya melalui penerbitan profesional dan kegiatan ilmiah lainnya. Kurangnya
dana, langkanya tenaga profesional dan potensi ”pasar” untuk mengkonsumsi
penerbitan profesional, menjadi sebab sulitnya PGRI bergerak ke arah itu.
Hal serupa juga berlaku dalam upaya memperjuangkan nasib
para guru. Diakui bahwa pada beberapa tahun terakhir PGRI makin aktif
menyuarakan aspirasi guru, namun secara umum tidak berlebihan bila dikatakan
bahwa PGRI masih harus berbuat banyak untuk menjadi penyalur dan penyambung
lidah para guru dalam menyampaikan aspirasinya untuk perbaikan statusnya.
Baik sebagai wahana untuk meningkatkan profesionalisme
maupun untuk memperjuangkan nasib guru, PGRI memang masih sebelum ”secanggih”
organisasi serupa di negara lain. Misalnya, NEA (National Educational Association) di AS benar-benar aktif melakukan
pembinaan terhadap profesionalisme guru; sedangkan AFT (American Federation of Teacher) lebih berurusan dengan upaya
memperjuangkan hak-hak guru. Guru-guru yang kurang puas dengan kondisi kerja
banyak bergabung dengan AFT. Di Inggris, NUT (National Teachers Union) merupakan kekuatan yang ampuh baik sebagai
sarana untuk pembinaan profesionalisme guru maupun dalam mempengaruhi opini
publik tentang pendidikan dan guru.
Kelima, tuntutan dan harapan masyarakat yang terus meningkat dan berubah membuat
guru makin ditantang. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat melahirkan
tuntutan-tuntutan baru terhadap peran (role
expectation) yang seharusnya dimainkan oleh guru. Akibatnya, setiap
penambahan kemampuan guru selalu berpacu dengan meningkatnya kemampuan dan
harapan masyarakat tersebut yang kadang-kadang lebih cepat dari kemampuan guru
untuk memenuhinya. Masalah terjadi apabila harapan atas peran guru bertambah,
sementara kemampuan guru memenuhinya terbatas.
Bila dimasa lalu guru menjadi sumber utama untuk menjawab
ketidaktahuan siswa, sekarang bukan lagi. Di rumah tersedia radio, televisi,
surat kabar, bahkan komputer dan internet. Tidak berlebihan bila dikatakan
bahwa – dengan pengecualian di pedesaan barisan depan dalam irama perubahan
masyarakat sebagaimana dipercayai di masa lalu, melainkan pengikut perubahan
masyarakat yang bergerak jauh di depan mereka. Dalam situasi demikian, tidak
mudah menegakkan profesi keguruan. Jadi, betapa peliknya problematik dan betapa beratnya
tantangan yang dihadapi profesi keguruan.
Implementasi Program Pengembangan Profesi Guru
Betapa bagusnyapun rumusan visi dan misi, serta
lengkapnyapun rumusan kandungan isi dengan pengelaborasiannya yang rinci dari
suatu program pendidikan (dalam arti penyiapan dan pengembangan) keprofesian
keguruan, pada akhir dan ujungnya akan tergantung kepada bagaimana kinerja cara
mengimplementasikannya dalam proses dan situasi pendidikannya yang aktual. Hal
tersebut mengimplikasikan bahwa implementasi suatu program pengembangan profesi
dan perilaku guru itu bukanlah merupakan sesuatu hal yang mudah, melainkan
memerlukan penanganan yang khusus dan sungguh-sungguh.
Pengembangan profesi keguruan bukan saja hanya memerlukan
dukungan program pengembangan yang bersifat luwes yang dapat memberikan peluang
setiap pengemban profesi guru itu menempuhnya secara luwes melalui prosedur
yang bersifat multi-entry dan/atau lintas jalur jenis kategori bidang keahlian,
juga paket-paket programnya seyogianya dikembangkan secara luwes pula sehingga
memberikan peluang kemudahan prosedural dan juga memberikan dorongan yang
menggairahkan kepada guru untuk melakukan upaya pengembangan keprofesiannya
secara berkelanjutan dengan cara yang bervariasi. Abin S. Makmum (1996) menguraikan tugas, peranan,dan
tanggung jawab LPTK, pengguna jasa guru, organisasi asosiasi profesi guru,
serta guru dalam upaya mengembangkan profesi guru sebagai berikut:
1. Tugas, Peranan dan
Tanggung Jawab LPTK dan Lembaga Lain yang Relevan
LPTK merupakan akronim dari Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan sebagai generik dari semua lembaga atau satuan pendidikan yang
bidang garapan kegiatannya bertalian dengan upaya pengadaan atau penyiapan
dan/atau pengembangan tenaga kependidikan. Penggunaannya secara resmi di
lingkungan Depdiknas, khususnya Ditjen Dikti, dimulai dengan terbitnya dokumen
PPSPTK (1978). Sedangkan dokumen formal lebih lanjut (PP No. 38 tahun 1992)
untuk maksud yang serupa menggunakan ungkapan Lembaga Pendidikan Tenaga
Keguruan, tanpa akronim. Yang terakhir itu dipandang serupa dengan terdahulu
berdasarkan asumsi bahwa perkataan GURU dalam versi UNESCO/ILO mencakup semua
personel yang terlibat dalam tugas pekerjaan kependidikan (Dokumen resmi
Internasional Hasil Konferensi Antar Pemerintah, termasuk Indonesia terwakili
di dalamnya, yang diselenggarakan oleh UNESCO/ILO tanggal 21 September s.d. 5
oktober 1966 di Paris).
Bentuk kelembagaan dari LPTK memang cukup bervariasi
sesuai dengan diversifikasi (jenis kategori bidang keahlian/pekerjaan) dan
stratifikasi (tingkat dan/atau jenjang kualifikasi keahlian/kemampuan) tenaga
guru yang harus disiapkan atau dibina dan dikembangkan baik persekolahan maupun
lembaga lain. Selain bentuk kelembagaan LPTK yang bersifat persekolahan (IKIP
yang sekarang berubah menjadi universitas dengan wider mandate-nya, STKIP, dan FKIP), sesungguhnya masih terdapat
berbagai format lainnya yang titik berat garapannya pada segi pengembangan (keprofesian)
guru. Di antaranya, terdapat BPG – Balai Pendidikan Guru (sekarang berganti
fungsi menjadi LPMP) yang selanjutnya diasosiasikan dengan gagasan PPPG-Pusat
Pengembangan Pendidikan Guru (sekarang berganti fungsi menjadi P4TK) dengan
bidang garapannya yang secara spesifik difokuskan kepada pengembangan kemampuan
guru-guru bidang studi, sebagai program sertifikasi.
Berdasarkan asumsi bahwa proses penyiapan (pre-service) dan pengembangan (in-service) tenaga guru dengan segala
kategorinya seyogianya digariskan sebagi suatu kesatuan yang integral. Seperti
direkomendasikan oleh Konferensi Pendidikan Internasonal yang diselenggarakan
di Jenewa mulai 27 Agustus s.d. 4 Sepetember 1974 oleh UNESCO (Goble, 1977:
206).
Pendidikan lanjutan hendaknya merupakan bagian integral
dari proses pendidikan guru sehingga perlu ditata secara teratur bagi semua
kategori tenaga kependidikan. Prosedur hendaknya seluwes mungkin dan dapat
disesuaikan terhadap kebutuhan guru individual maupun terhadap ciri-ciri khas
setiap daerah, dengan memperhitungkan perkembangan kekhususan yang berbeda dan
perluasan perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara konseptual, kedua tahapan proses pendidikan guru
tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari tugas dan tanggung jawab LPTK.
Dengan demikian, LPTK itu seyogianya mampu menjalankan peranannya baik dalam
pelaksanaan fungsi pendidikan prajabatan maupun fungsi pendidikan dalam
jabatan. Sebagaimana halnya direkomendasikan pula oleh UNESCO (Goble,
1977:206). Fungsi lembaga pendidikan guru hendaknya tidak saja
diperluas untuk memberikan pendidikan prajabatan kepada para guru, melainkan
juga memberikan banyak sumbangan bagi pendidikan lanjutan mereka; dengan
demikian, lembaga-lembaga tersebut hendaknya memberikan pendidikan prajabatan
dan pendidikan lanjutan.
Di Indonesia, sesungguhnya gagasan UNESCO itu telah
dicoba untuk diimplementasikan dalam rangka pengembangan pola pembaharuan
sistem pendidikan tenaga kependidikan. Pengadaan (penyiapan) tenaga
kependidikan yang termasuk kategori tenaga guru TK, SD, SL, dan juga sebagian
PLS pada dasarnya merupakan tugas dan tanggungjawab LPTK. Terdapat kemungkinan
juga pendidikan prajabatan saat itu dikonsepsikan dapat ditempuh melalui
pendidikan dalam jabatan, dengan asumsi bahwa hingga saat itu masih terdapat
sejumlah guru yang telah bertugas. Sedangkan aturan lain menunjukkan bahwa pada
dasarnya semua jenis kategori tenaga kependidikan dari semua jenang dan/atau
tingkat kelembagaan satuan dan program pendidikan dapat menempuh program
pendidikan lanjutan baik di LPMP maupun di LPTK. Dengan catatan bahwa kepada
jenis dan jenjang satuan pendidikan TK itu termasuk Raudhatul Atfhal, kepada SD
itu mencakup Pondok Pesantren dan kepada PT mencakup IAIN dan sejenisnya, baik
yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun oleh swasta (LSM).
Khusus bagi LPTK, dalam kedudukannya sebagi lembaga
pendidikan tinggi (telaah PP NO. 38 pasal 11-16 serta pasal 32) secara jelas
selain mengemban tugas dharma pendidikan (menyiapkan dan mengembangkan tenaga
kependidikan profesional) itu juga harus mengemban dharma penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat sebagaimana yang berlaku bagi lembaga pendidikan
lainnya (non LPTK). Dengan demikian, secara akademis LPTK-pun harus setaraf
dengan lembaga pendidikan tinggi (universitas/institut) lainnya, sama halnya
juga sebagai pusat pembaharuan dan pembangunan masyarakat. Dari LPTK itulah
diharapkan lahirnya IPTEK dan humaniora yang relevan dengan bidang kependidikan
sebagai sumber dan pendukung serta penunjang profesi kependidikan
2. Tugas, Peranan dan
Tanggung Jawab Pihak Pengguna Jasa Guru
Dalam berbagai kesempatan terdahulu telah disinggung
bahwa proses pembinaan kualitas kinerja keprofesian bukanlah merupakan hal yang
bersifat tuntas (exhaustive) secara
temporal (berlangsung selama proses) dan terminal (berhenti saat berakhirnya)
menempuh suatu program pendidikan, melainkan terus berkelanjutan setelah dan
selama terjun di dalam menjalankan praktek keperofesiannya sepanjang hayatnya
asalkan selalu berupaya mengembangkan diri dan menyegarkan kinerja
keprofesiannya seirama dengan tuntutan perkembangan IPTEK dan persyaratan
standar bidang pekerjaannya.
Atas dasar itu, maka pihak-pihak yang berkepentingan
dengan pengelolaan dan pengguna jasa para pengemban profesi itu seyogianya
memberi peluang dan dukungan bagi upaya pengembangan kualitas kinerja
kependidikan, peranan dan tanggung jawab pihak pengelola dan pengguna jasa
tenaga kependidikan itu teramat penting mengingat bidang garapan tugas
pekerjaannya hingga dewasa ini cenderung lebih bersifat pelayanan yang
terorganisasikan dan terikat secara kelembagaan (institusional) ketimbang yang
bersifat pelayanan individual yang bebas dan secara mandiri. Memang telah mulai
menggejala juga, adanya hasrat dari sementara kalangan masyarakat pengguna jasa
di bidamg kependidikan itu yang memerlukan pelayanan khusus secara privat,
namun proporsinya teramat masih terbatas dibandingkan dengan mereka yang masih
menghendaki pelayanan terorganisasikan secara melembaga, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun oleh masyarkat (LSM).
Siapa dan/atau lembaga apa dan yang mana saja yang dapat
diidentifikasikan sebagai pihak pengguna jasa profesi kependidikan itu?
Mengingat kegiatan pekerjaan pendidikan itu dewasa ini telah dikonseptualisasikan
secara sistematik, maka unsur-unsur pihak pengguna jasa pelayanan profesi
kependidikannya juga seyogianya diidentifikasi secara sistematik. Untuk itu,
perlu ditelaah:
a. Didentifikasi dan
dibedakan pihak penggunna (users)
jasa profesi guru dengan pihak penerima (beneficiaries)
jasa pelayanan profesi kependidikan. Mereka yang termasuk kepada kategori
pertama, ialah mereka yang terlibat dalam pengelolaan sistem pendidikan pada
tingkat mesoskopik (institusional: pimpinan satuan pendidikan) dan pada tingkat
makroskopiknya (struktural: pimpinan organsiasi atau badan penyelenggara satuan
dan program pendidikan). Sedangkan mereka yang termasuk kepada kategori kedua,
ialah mereka yang secara langsung menerima jasa pelayanan pendidikan (para
peserta didik yang bersnagkutan) dan mereka yang secara tidak langsung (para
orag tua, masyarakat bisnis/industri, instansi pemerintah, dan berbagai pihak
lainnya) menunjukkan antara lain pihak pengguna terbatas di lingkungan
Depdiknas.
b. Kiranya dapat dimaklumi betapa luas dan
beraneka ragamnya pihak pengguna jasa pelayanan profesi kependidikan itu, baik
ditinjau dari segi jalur (sekolah-luar sekolah), jenjang
(dasar-menengah-tinggi) maupun penyelenggaranya (negeri-swasta). Dalam arena
yang demikian luas itulah sesungguhnya tenaga kependidikan itu beroperasi
dengan berbagai ragam keahlian dan kekhususannya.
Setiap tingkat dan jenis kategori pengguna, termasuk
penerima, jasa pelayanan tenaga kependidikan sudah barang tentu tugas, peranan
dan tanggungjawabnya dapat bervariasi dalam kontribusinya untuk
terselenggaranya pengembangan profesi dan prilaku tenaga kependidikan
termaksud. Para pengelola sistem pendidikan secara struktural mulai
dari tingkat puncaknya (nasional, pusat) sampai kepada tingkat paling bawah
(birokrasi/pengurus cabang dan/atau rantingnya) baik instansi pemerintah
maupuan swasta, dalam posisinya sebagai penyelenggara dan bahkan sekaligus juga
sebagai pemilik dari satuan-satuan dan program-program pendidikan yang
bersangkutan, sudah barang tentu seyogianya memiliki tugas, peranan, dan
tanggung jawab yang sangat besar dan luas atas upaya pengembangan profesi dan
prilaku tenaga kependidikan. Sebagaimana dinyatakan dalam PP No. 38 tahun 1992
pasal 29:
Pengelola sistem pendidikan nasional bertanggung jawab
atas kebijaksanaan nasional berkenaan dengan sistem pengembangan profesional
tenaga kependidikan pada setiap cabang ilmu pengetahuan.
Demikian juga UNESCO (Goble, 1977:207) merekomendasikan:
Pemantapan pendidikan guru lanjutan (continuing and inservice education and training) yang diperlukan di
semua (jenjang/tingkatan) sistem, sejak pendidikan primer (di jenjang dasar)
hingga pendidikan tersier (di jenjang perguruan tinggi) termasuk juga
pendidikan bagi orang dewasa, harus didukung oleh banyak usaha pejabat yang
berwenang di bidang pendidikan usaha semacam itu mencakup analisis kuantitatif
mengenai pengadaan (penyiapan) dan kebutuhan guru (tenaga kependidikan) di
suatu negara, dan juga pelaksanaan perencanaan nasional atau regional
(wilayah/daerah) pendidikan lanjutan bagi para guru-guru (tenaga kependidikan).
Sama halnya dengan pengelola satuan dan program
pendidikan. Merekapun mempunyai tugas, peranan, dan tanggungjawab tertentu atas
upaya pengembangan profesi tenaga kependidikan yang berada dalam lingkup
kewenangannya. Sebagaimana dinyatakan, antara lain, dalam PP No. 38 tahun 1992
pasal 30 sebagai berikut;
Pengelola satuan pendidikan (sekolah, perguruan, SKB,
PUSDIKLAT, dsb.) bertanggungjawab atas pemberian kesempatan kepada tenaga
kependidikan yang bekerja di satuan pendidikan yang bersangkutan untuk
mengembangkan kemampuan profesional masing-masing.
Pihak para penerima (beneficiaries)
jasa pelayanan pendidikan langsung dan/atau tidak langsung pertama, antara
lain, para peserta didik dan atau orang tua mereka. Sedangkan yang tidak
langsung, antara lain, para pemakai (yang mempekerjakan para lulusan dari
sesuatu satuan atau program pendidikan ke dalamnya masyarakat pengusaha dan
juga instansi pemerintah). Sepanjang ketentuan yang berlaku ternyata telah
diatur pula tugas, peranan, dan tanggungjawabbya untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, yang diantaranya juga mencakup
aspek pengadaan dan pengembangan sumber daya pendidikan termasuk SDM atau
tenaga kependidikan.
Adapun wujud dan bentuk tugas, peranan, dan tanggungjawab
para pengguna jasa tenaga kependidikan termaksud, sesungguhnya bukan hanya
sebatas:
a. menggariskan arah
kebijaksanaan tentang pengembangan profesi tenaga kependidikan; dan/atau
b. pemberian izin kesempatan kepada tenaga
kependidikan untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya; melainkan juga
c. memberikan
dukungan fasilitasnya yang diperlukan, baik sarana dan prasarana maupun dana
atau finansialnya yang diperlukan bagi kepentingan pengembangan profesi tenaga
kependidikan.
Sebagaimana telah direkomendasikan oleh UNESCO (Goble,
1999: 206-207), antara lain:
Agar proses pendidikan lanjutan dapat berfungsi efektif
dan dapat dinikmati oleh guru-guru yang bertugas di daerah daerah terpencil, penggunaan
radio, televisi, dan kursus tertulis hendaknya diperluas. Perpaduan antara
kursus-kursus penuh dalam jangka pendek dengan penggunaan program-program yang
menggunakan banyak media, yang cukup lama, termasuk radio, televisi dan
kursus-kursus tertulis dapat memechakan secara langsung problem pendidikan
jabatan yang diikuti banyak guru.
Masyarakat pengguna jasa tenaga kependidikan termaksud
dapat mengorganisasikan berbagai bentuk partisipasinya seperti disebutkan di
atas itu sesuai posisi dan statusnya masing-masing. Pihak pengguna jasa tenaga
kependidikan yang terkategorikan ke dalam atau instansi dinas pemerintahan
tentu dapat menggunakan saluran-saluran kedinasannnya dengan jalan antara lain:
a. membentuk atau
mendirikan pusat-puast pengembangan tenaga kependidikan (LPMP, P4TK)
b. membentuk dan mendorong atau
menggerakkan unit-unit kerja sama dan asosiasi profesi guru sejenis (MGBS, MGP,
KKG, KKS, dsb) untuk memacu para guru dalam saling membantu dalam pengembangan
kemampuan profesionalnya;
c. menyediakan
beasiswa untuk melanjutkan studi (di negara yang telah maju bahkan termasuk
untuk ”sabatical live”)
d. menyelenggarakan berbagai proyek
kegiatan penelitian, penulisan, seminar serta penataran dan sebagainya yang
tertuju kepada peningkatan kemampuan profesional tenaga kependidikan.
Hal serupa dapat dilakukan juga oleh pihak masyarakat
(LSM) baik badan ataupun yayasan atau perorangan, baik yang bersifat sosial
maupun yang bersifat bisnis. Banyak peluang beasiswa (grant atau credit)
ditawarkan oleh dunia usaha atau organisasi sosial kemasyarakatan kepada para
tenaga kependidikan untuk keperluan studi lanjut, penelitian, pengabdian dan
sebagainya. Sayangnya, aksesnya kepada para guru mengenai informasi tentang
hal-hal tersebut di Indonesia hingga dewasa ini masih amat terbatas.
3. Tugas, Peranan dan
Tanggung Jawab Organisasi Asosiasi Profesi Guru
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa terbentuknya
suatu organisasi asosiasi profesi itu merupakan salah satu syarat bagi pengakuan
keberadaan suatu profesi selain lebih jauh lagi menunjukkan keberadaan suatu
organisasi asosiasi profesi itu merupakan salah satu syarat kelengkapan penting
bagi tegaknya dan kelangsungan hidupnya suatu profesi. Dalam konteks profesi
kependidikan di Indonesia, PP No. 38 tahun 1992 pasal 61 menunjukkan:
Tenaga kependidikan dapat membentuk ikatan profesi
sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan karier, kemampuan,
kewenangan profesional, martabat dan kesejahteraan tenaga kependidikan.
Adapun wujud wadah ikatan profesi tenaga kependidikan
termaksud secara umum dan formal model dan bentuknya telah didiskusikan pada
bab terdahulu. Ada yang bersifat generik (mencakup semua jenis kategori tenaga
kependidikan) dan ada yang bersifat spesifik (berkenaan dengan salah satu jenis
dan strata kependidikan tertentu), secara internasional, telah dikenal sejumlah
organisasi asosiasi (ikatan, himpunan, persatuan, dsb.) tenaga guru yang
bersifat spesifik.
Di Indonesia, perkembangan dan realitasnya agak berbeda
dari kecenderungan yang berlaku umum secara internasional. Sudah barang tentu
sesuai dengan kondisi obyektif dan budaya politik keorganisasian yang berlaku
di negeri ini. Di masa yang lampau (saat-saat kelahiran organisasi guru yang
telah menempatkan posisinya sebagai organisasi perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia), telah disepakati hanya ada satu organisasi guru secara manunggal
yang diidentifikasikan sebagai PGRI. Sayangnya, organisasi asosiasi profesi
guru ini nampaknya seperti kurang mengindahkan segi-segi kekhususan yang
ditekuni para anggotanya. Kiprahnya nampak cenderung bersifat global kejuangan
politik secara nasional, sehingga identitas khas sebagai organisasi asosiasi
keprofesiannya di bidang pendidikan nyaris tidak menonjol.
Sesungguhnya, terdapat berbagai organisasi asosiasi di
luar PGRI yang bertalian dengan kegiatan atau permasalahan garapan yang
bertalian erat dengan bidang pendidikan, namun tidak ada kaitan organisatoris
secara melembaga dengan PGRI. Di antaranya ialah ISPI (Ikatan Sarjana
Pendidikan Indonesia) dengan bidang-bidang keahliannya (ISKIN, HISAPIN, ISMAPI,
HISPELBI, Himpunan Sarjana PLS, IPS, MIPA, Teknik, Olahraga, Bahasa dan Seni,
dsb.).
Selain itu, terdapat pula format asosiasi lain yang
merupakan wadah sebagai forum kebersamaan dan bekerjasama dalam berbagai
kegiatan pengembangan keprofesian guru, antara lain: MGBS (Musyawarah Guru
Bidang Studi: IPA, IPS, Bahasa, Matematika, OR, dsb.); MGP (Musyawarah Guru
Pembimbing) yang kehadirannya disponsori dan didukung oleh pihak pengguna jasa
tenaga kependidikan. Walaupun selama ini identitas organisasi asosiasi profesi
tersebut belum terdapat pembinaan secara menyeluruh dan cenderung berjalan
sendiri-sendiri.
Secara ideal, tugas dan peranan serta tanggung jawab
utama dari organisasi asosiasi profesi kependidikan itu sebagaimana terkandung
dalam muatan meningkatkan dan/atau mengembangkan:
Ø karier;
Ø kemampuan;
Ø kewenangan
profesional;
Ø martabat, dan
Ø kesejahteraan
Kesemuanya itu tentu harus dijabarkan atau dielaborasikan
ke dalam berbagai bentuk kegiatan upaya atau kiprah yang nyata oleh organisasi
asosiasi profesi kependidikan yang bersangkutan, sehingga benar-benar dapat dirasakan
oleh setiap anggotanya.
Secara umum UNESCO (Goble, 1977:206) menunjukkan
kemungkinan kiprah yang seyogianya dilakukan mewujudkan tugas, peranan dan
tanggungjawab organisasi asosiasi profesi guru: Organisasi –organisasi guru hendaknya diberi kesempatan
untuk memberikan sumbangan kepada pendidikan guru lanjutan (pengemban profesi)
dengan memprakarsai kesempatan bagi guru untuk bertemu dan bekerjasama
mengatasi berbagai problema yang sama. Konferensi, seminar dan kursus-kursus
yang diselenggarakan oleh organisasi guru dapat menjadi suatu ukuran yang
penting dalam mendorong pengembangan guru yang dilakukan oleh (organisasi)
profesi itu sendiri.
Adapun problema-problema yang harus diatasi oleh para
guru sebagaimana yang tersirat dalam pernyataan UNESCO tersebut, sudah jelas
kiranya erat berkaitan dengan keempat gugus atau bidang garapan seperti
berikut;
a. Apa program
kegiatan organisasi asosiasi profesi untuk membantu peningkatan dan
pengembangan karier para anggotanya? Ke dalamnya dapat termasuk juga jika
anggotanya itu ingin alih fungsi dari guru kepada non-guru (pengelola, peneliti
dan pengembang, dsb.) dan sebaliknya. Juga termasuk kelancaran proses
penanganan dan penyelesaiannya yang justru sering terjadi permasalahan perlukah
terjalin komunikasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya pihak
pengguna tenaga kependidikan.
b. Apa program kegiatan organisasi
asosiasi profesi guru untuk membantu para anggotanya dalam meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan-kemampuan profesionalnya?
c. Apa program
kegiatan organisasi asosiasi profesi guru untuk membantu para anggotanya
meningkatkan kewenangan, dalam arti peningkatan jenjang pendidikan formal
keprofesiannya? Mengembangkan LPTK? Menghimpun dana, mencari sponsor untuk
menunjang kelanjutan studi para anggotanya.
d. Apa upaya organisasi profesi guru untuk
membina martabat profesinya? Merumuskan kode etika dan membentuk dewan/majelis
pertimbangan kode etikanya? Membina disiplin kerja keprofesian serta
mengupayakan penampilan yang dapat meningkatkan pengakuan dan penghargaan dari
berbagai pihak berkepentingan?
e. Apa program
kegiatan organisasi asosiasi profesi guru untuk meningkatkan dan mengembangkan
kesejahteraan material, sosial, mental dan spiritual para anggotanya? Membangun
koperasi? Mengembangkan badan usaha? Menyelenggarakan kegiatan olah raga, seni,
rekreasi, perhimpunan keagamaan dan kerohanian, dsb.?
Jika pertanyaan-pertanyaan di atas itu dihubungkan dengan
bentuk-bentuk organisasi asosiasi profesi guru yang telah ada di negeri ini,
pada dasarnya hampir telah banyak yang dilakukan. Akan tetapi, seperti
dikemukakan terdahulu, dalam prakteknya berjalan sendiri-sendiri. Setiap jenis
organisasi guru yang ada cenderung mempunyai fokusnya masing-masing. Yang
menonjol pada PGRI, antara lain: segi kooperasinya. Forum MGBS, dsb. menonjol
pembinaan kemampuan profesionalnya. PGRI juga membina beberapa LPTK. Namun
majelis pertimbangan kode etika masih belum ada yang menanganinya secara jelas,
meskipun kode etikanya sudah ada.
4. Tugas, Peranan dan
Tanggung Jawab Guru
Tingkat kualitas kompetensi profesi seseorang itu
tergantung kepada tingkat penguasaan kompetensi kinerja (performance competence) sebagai ujung tombak serta tingkat
kemantapan penguasaan kompetensi kepribadian (values and attitudes competencies) sebagai landasan dasarnya, maka
implikasinya ialah bahwa dalam upaya pengembangan profesi dan prilaku guru itu
keduanya (aspek kinerja dan kepribadian) seyogianya diindahkan keterpaduannya
secara proporsional. Lieberman (1956) menunjukkan salah satu esensi dari suatu
profesi itu adalah pengabdian (the
service to be rendered) kepada umat manusia sesuai dengan keahliannya.
Karena itu betapa pentingnya upaya pembinaan aspek kepribadian (inklusif pembinaan
sikap dan nilai) sebagai sumber dan landasan tumbuh-kembangnya jiwa dan
semangat pengabdian termaksud. Dengan demikian, maka identitas dan jatidiri
seorang tenaga kependidikan yang profesional pada dasarnya akan ditandai oleh
tercapainya tingkat kematangan kepribadian yang mantap dalam menampilkan
kinerja profesinya yang prima dengan penuh semangat pengabdian bagi
kemaslahatan umat manusia sesuai dengan bidang keahliannya.
Dalam realitasnya, pada awal kehadiran dan keterlibatan
orang-orang dalam suatu profesi, termasuk bidang keguruan, pada umumnya datang
dengan membawa pola dasar motivasi dan kepribadian yang bervariasi, sangat
mungkin di antara mereka itu datang dengan bermotifkan ekonomis, sosial,
estetis, teoritis, politis atau religius. Kiranya sulit disangkal bahwa
sesungguhnya semua motif dasar tersebut, disadari atau tidak, akan terdapat
pada setiap insan. Akan tetapi, bagi pengemban profesi kependidikan yang
seyogianya dipupuk dan ditumbuhkan selaras dengan tuntutan tugas bidang
pekerjaannya, ialah motif sosial yang berakar pada jiwa dan semangat
filantropis (mencintai dan menyanyangi sesama manusia).
Itulah sebabnya, mengapa UNESCO amat merekomendasikan
agar masalah pembinaan kepribadian guru itu harus mendapat perhatian yang
sungguh-sungguh dalam penyelenggaraan pendidikan keguruan, baik pada fase
prajabatan maupun dalam jabatannya. Di dalam fase prajabatan, program
pendidikan harus dikembangkan yang memungkinkan dapat terjadinya proses
sosialisasi yang sehat, baik melalui kegiatan kurikuler maupun ko-kurikuler dan
ekstra-kurikulernya seperti ”student self-gouvernment activities” dan
”community services”. Sudah barang tentu harus ditunjang kelengkapannya yang
memadai, termasuk sistem asrama. Sedangkan dalam fase pasca pendidikan
prajabatan, upaya pengembangan kepribadian dan keprofesian itu pada dasarnya
akan sangat tergantung kepada sejauh mana jiwa dan semangat “self-propelling
and professional growth and development” dari guru yang bersangkutan.
Dalam realitasnya, semangat dan kesadaran untuk menumbuh-kembangkan
diri (kepribadian) dan keprofesian itu tidak selalu terjadi dengan sendirinya
(secara intrinsik), melainkan harus diciptakan iklim yang mendorong dan
”memaksa” pengemban suatu profesi itu dari lingkungannya (secara ekstrinsik).
Itulah sebabnya baik UUSPN No. 20 tahun 2003 telah menjadikannya sebagai suatu
kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap guru.
Sebagai operasionalisasinya untuk mendorong dan ”memaksa”
guru agar melaksanakan kewajibannya itu ialah dengan memperhitungkannya sebagai
salah satu komponen yang menjadi dasar kenaikan jenjang jabatan fungsionalnya
dengan diberikan angka kredit yang signifikan, baik ke dalam unsur
pendidikannya, pengembangan profesi, maupun unsur penunjangnya (SK. Menpan
No.28 tahun 1989). Meskipun berbagai ketentuan tersebut pada dasarnya
diperuntukkan bagi PNS, namun dalam prakteknya juga dijadikan pedoman bagi
penentuan angka kredit dalam rangka menetapkan jenjang jabatan fungsional tenga
kependidikan dalam kerangka sistem pendidikan nasional.
Bagi guru yang datang dengan motif dasar intrinsik, sudah
barang tentu upaya pengembangan dirinya dan keprofesiannya itu bukan merupakan
permasalahan. Ia tinggal memilih saja alternatif mana yang diminatinya
sebagaimana disarankan, secara umum, melalui: (1) pendidikan formal sesuai
dengan jalur, jenjang dan jenis bidang keahliannya (jika hal itu belum ditempuh
sebelumnya);
(2) pendidikan non formal (sepanjang tersedia);
(3) keikut-sertaan dalam berbagai kegiatan penelitian, seminar, lokakarya, penulisan/publikasi, dsb. yang relevan dengan bidang keprofesiannya;
(4) belajar mandiri dengan memanfaatkan berbagai sumber dan media (cetak dan/atau elektronik) yang tersedia relevan dengan bidang keprofesiannya. Berbagai kegiatan termaksud sangat boleh jadi dilakukannya juga di lingkungan kerjanya sebagai laboratorium eksperimentasinya yang aktual, nyata, dan pragmatis untuk menunjang kualitas kinerjanya secara langsung.
(2) pendidikan non formal (sepanjang tersedia);
(3) keikut-sertaan dalam berbagai kegiatan penelitian, seminar, lokakarya, penulisan/publikasi, dsb. yang relevan dengan bidang keprofesiannya;
(4) belajar mandiri dengan memanfaatkan berbagai sumber dan media (cetak dan/atau elektronik) yang tersedia relevan dengan bidang keprofesiannya. Berbagai kegiatan termaksud sangat boleh jadi dilakukannya juga di lingkungan kerjanya sebagai laboratorium eksperimentasinya yang aktual, nyata, dan pragmatis untuk menunjang kualitas kinerjanya secara langsung.